Bisa-bisanya Dosen Tak Punya Waktu Mengajar...

|

Respons dari kalangan perguruan tinggi masih terus mengalir dari kebijakan baru Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang dituangkan melalui Surat Edaran (SE) Ditjen Dikti Nomor 152/E/T/2012 tentang publikasi karya ilmiah untuk mahasiswa program S-1, S-2, dan S-3. Kebijakan ini akan berlaku bagi mahasiswa yang lulus setelah Agustus 2012.

Pimpinan Universitas Surabaya (Ubaya) dan Universitas Kristen Petra (UKP) Surabaya mempertanyakan standar ilmiah atau keilmiahan dari kebijakan tersebut.

Kalau paper itu minimal delapan halaman, maka akan ada 6,4 juta lembar paper. Pertanyaannya, siapa yang akan menjadi reviewer bagi 800.000-an paper. Bisa jadi, dosen enggak sempat mengajar
-- Rektor Ubaya Prof Joniarto Parung PhD

“Jurnal ilmiah itu harus memperhatikan kaidah-kaidah ilmiah, yakni karya itu harus melalui proses uji dari 1-2 reviewer dan jurnal ilmiah yang memuatnya pun harus terakreditasi,” kata Rektor Universitas Surabaya Prof Joniarto Parung PhD, di Surabaya, Senin (20/2/2012).

Menurut dia, bila tak ada ketentuan tersebut, bisa menyebabkan jurnal ilmiah itu tidak berkualitas secara ilmiah.

“Jadi, tidak mudah. Tapi kalau kualitas keilmiahan itu dijadikan syarat kelulusan, maka mahasiswa akan sulit memenuhi kualitas itu, sehingga kelulusannya akan tertunda,” katanya.

Apalagi, katanya, di Indonesia ada sekitar 16.000 program studi. “Anggap saja setiap prodi itu meluluskan 50 orang setiap tahun, maka akan ada 800.000 mahasiswa yang akan lulus S-1 dalam setiap tahun,” katanya.

“Kalau paper itu minimal delapan halaman, maka akan ada 6,4 juta lembar paper. Pertanyaannya, siapa yang akan menjadi reviewer (penguji) bagi 800.000-an paper. Bisa jadi, dosen enggak sempat mengajar,” katanya.

Menurutnya, bila dipaksakan dengan jurnal elektronik tanpa reviewer, maka paper yang terbit akan “asal membuat”. Tetapi. kebijakan dinilainya bisa diterapkan untuk dosen dan dosen yang aktif menulis diberi reward sehingga dia akan semakin aktif. “Jadi, jangan kebijakan dadakan dan asal-asalan,” kata Joniarto.

Senada dengan itu, Kepala Perpustakaan Universitas Kristen Petra (UKP) Surabaya Aditya Nugraha menyatakan tidak setuju kewajiban itu untuk S-1 dan S-2, karena standar keilmiahan belum dapat dipenuhi oleh mereka.

“Lulusan S-1 itu umumnya tidak selalu menulis skripsi ilmiah dan lulusan S-2 juga bisa memilih jalur non-akademis, apalagi kalau dikaitkan dengan reviewer, karena syarat reviewer itu sulit dan bahkan tidak semua dosen itu bisa menjadi reviewer,” katanya.

Mengenai jurnal online sebagai alternatif, ia menyatakan, jurnal online juga tetap memerlukan reviewer.

“Kalau tidak begitu ya berarti bukan jurnal ilmiah. Tim reviewer itu meliputi 2-3 orang yang ahli di bidangnya,” ujarnya.

Oleh karena itu, ia menyoroti kebijakan jurnal ilmiah itu dari dua aspek yakni sumber daya manusia reviewer (penguji) dan definisi ilmiah yang dimaksud dalam surat edaran itu.

“Syarat reviewer itu sulit. Bahkan, jurnal ilmiah itu juga bukan sekadar meringkas skripsi, karena tidak semua skripsi itu memenuhi standar ilmiah yang bisa masuk jurnal ilmiah,” katanya.

Untuk Program S-2, menurutnya, juga masih sulit diterapkan, karena S-2 itu bersifat abu-abu. “Peserta Program S-2 itu ada yang akademis tapi ada juga yang profesional. Saya lebih setuju jurnal ilmiah itu untuk program S-3 yang memang wajib meneliti dan penguasaan bahasa Inggris juga ada,” ujar Aditya.

Alternatifnya, pemerintah sudah harus menyiapkan sumber daya manusia dengan mendidik peneliti baru, seperti yang dilakukan Yohanes Surya yang melatih pelajar untuk mengikuti olimpiade sains.


sumber :

http://edukasi.kompas.com/read/2012/02/20/14583967/Bisabisa.Dosen.Tak.Punya.Waktu.Mengajar.



IPK 4 Belum Tentu "Cum Laude"

|

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh mengatakan, kewajiban publikasi ilmiah sebagai syarat kelulusan bagi mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 yang dituangkan dalam surat edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi tidak memiliki kekuatan hukum dan hanya bersifat dorongan. Ketua Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri (MRPTN) Idrus Paturusi juga mempertegas bahwa surat tersebut hanya upaya untuk mendorong budaya menulis. Tak ada sanksi bagi mahasiswa yang tak memublikasi karya ilmiahnya.

Akan tetapi, kata Idrus, meski tak ada sanksi, akan ada perbedaan predikat kelulusan antara mahasiswa yang memublikasi karya ilmiahnya dengan mahasiswa yang tak melakukannya.

Sanksinya tidak ada kecuali predikat kelulusan. Mahasiswa yang IPK 4 belum dinyatakan cum laude jika gagal dalam publikasi. Sebaliknya, mahasiswa dengan IPK 3,7 bisa cum laude jika berhasil melakukan publikasi

"Yang diinginkan Mendikbud adalah kesadaran kita. Sanksinya tidak ada kecuali predikat kelulusan. Mahasiswa yang mempunyai IPK 4 belum dinyatakan cum laude jika gagal dalam publikasi. Sebaliknya, mahasiswa dengan IPK 3,7 bisa cum laude jika berhasil melakukan publikasi," papar Idrus, di sela-sela Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan (RNPK), di Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan Kemdikbud, Bojongsari, Depok, Senin (27/2/2012).

Dihubungi terpisah, Sekretaris Jenderal Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Suyatno mengatakan, pihaknya menyambut baik diubahnya aturan ini. Menurutnya, perguruan tinggi swasta (PTS) belum semuanya memiliki infrastruktur yang baik untuk menampung makalah mahasiswa. Termasuk di dalamnya jurnal online (e-journal).

"Kami menyambut baik. Harusnya pemerintah membantu PTS untuk membangun infrastrukturnya," tegas Suyatno.

Sebelumnya, secara resmi, APTISI telah menyatakan penolakan atas diwajibkannya publikasi karya ilmiah sebagai syarat kelulusan. Rencananya, kebijakan itu akan efektif berlaku bagi lulusan setelah Agustus 2012. Akan tetapi, kebijakan ini menuai kontroversi. Jumlah jurnal ilmiah yang ada dinilai tidak sesuai dengan jumlah mahasiswa yang diwajibkan memublikasi karya tulisnya.


sumber :

 

©2012 http://dinuszone.blogspot.com/ by Dinus Zone Team